BUDIDAYA TANAMAN PORANG
Seiring berkembangnya zaman, tanaman porang atau yang
biasa disebut dengan iles-iles kini menjadi primadona baru bagi petani di
Indonesia. Hal ini karena porang menjadi salah satu komoditas yang bernilai
ekonomi tinggi karena pemasarannya diekspor ke luar negeri. Negara tujuan
ekspor porang Indonesia antara lain Jepang, Taiwan, Singapura dan Korea
Selatan. Salah satu petani porang asal Blora,
Jawa Tengah, yaitu Heriyanto mengungkapkan keuntungan yang didapat dari menanam
porang bisa sampai ratusan juta setiap kali panen. Ini yang membuat
trend tanaman porang menjadi naik drastis. Banyak sekali petani yang tiba-tiba
ingin menanam tanaman porang karena tergiur dengan hasil panen yang akan
diperolehnya. Namun demikian perlu kita ketahui
terlebih dahulu syarat tumbuh dan teknik budidaya tanaman porang agar
nantinya kita dapat melaksanakan usaha tani porang dengan baik sehingga bisa
panen dengan hasil yang tinggi.
A. Syarat
Tumbuh Tanaman Porang
Tanaman
porang umumnya diusahakan sebagai tanaman sekunder yaitu ditanam tumpangsari di
bawah tegakan hutan (jati, mahoni, sengon) atau di bawah naungan pohon. Agar
dapat tumbuh dan menghasilkan ubi secara optimal, tanaman porang menghendaki
beberapa persyaratan tumbuh sebagai berikut:
1. Tinggi
tempat
Porang cocok ditanam pada ketinggian
hingga 800 m di atas permukaan laut (dpl), namun yang bagus adalah daerah
dengan tinggi 100-600 m dpl. Untuk pertumbuhannya memerlukan suhu 25-35 oC,
dan curah hujan 1.000- 1.500 mm/tahun dan tersebar rata sepanjang tahun. Pada
suhu di atas 35 o C, daun tanaman akan terbakar sedangkan pada suhu
rendah, menyebabkan tanaman dorman. Kondisi hangat dan lembab diperlukan untuk
pertumbuhan daun, sementara kondisi kering diperlukan untuk perkembangan ubi.
2. Tekstur
tanah
Porang akan tumbuh dan menghasilkan ubi
yang baik pada tanah bertekstur ringan hingga sedang, gembur, subur, dan
kandungan bahan organiknya cukup tinggi karena tanaman porang menghendaki tanah
dengan aerasi udara yang baik (Ermiati dan Laksmanahardja,1996). Meskipun cukup
toleran terhadap genangan, namun kondisi genangan yang agak lama dapat
mengakibatkan tanaman mati karena membusuk. Menurut Jansen et al. (1996 cit.
Flach and Rumawas 1996) pada budidaya porang diperlukan sistem drainase yang
baik sehingga air tidak menggenang. Tanaman porang tumbuh baik pada tanah
dengan pH netral (pH: 6-7).
3. Naungan
Tanaman porang mempunyai sifat khusus
yaitu toleran terhadap naungan antara 40%-60%, oleh karena itu dapat
ditumpangsarikan dengan tanaman keras (pepohonan). Di Indonesia, porang banyak
tumbuh liar di pekarangan atau di pinggiran hutan, di bawah naungan pepohonan
lain. Tanaman yang cocok sebagai naungan
dari porang antara lain pohon jati, sonokeling, atau mahoni. Bahkan di India, tanaman
porang banyak diusahakan secara monokultur pada lahan terbuka atau di bawah
tegakan perkebunan kelapa, papaya, jambu, mangga atau leci (Jata et al. 2009).
4. Kelembaban
tanah
Kelembaban tanah tidak berpengaruh
terhadap perkecambahan (sprouting) ubi, namun berpengaruh terhadap pertumbuhan
dan perkembangan tunas. Apabila kelembaban tanah sepanjang periode pertumbuhan
tercukupi, tanaman porang akan menghasilkan ubi yang besar. Menurut Jansen et
al. (1996) curah hujan antara 1000-1500 mm/tahun adalah optimal untuk
pertumbuhan tanaman porang.
B. Teknik
Budidaya Tanaman Porang
1. Pengolahan
Tanah/Persiapan Tanah
Tanaman porang menghendaki tanah yang
gembur dan subur. Terdapat dua cara penyiapan lahan untuk penanaman, tergantung
pada bibit yang digunakan. Apabila bibit berasal dari umbi maka perlu dibuat lubang
tanam dengan ukuran 60 x 60 x 45 cm, jarak antara lubang tanam 90 x 90 cm.
Kalau tanaman porang dirancang untuk menghasilkan ubi berkuran kecil-sedang,
maka jarak antar lubang tanam dikurangi menjadi 60 x 60 cm. Sebelum tanam,
lubang tanam ditutup dengan lapisan tanah bagian atas (topsoil) dan pupuk
organik (kompos atau pupuk kandang). Sedangkan untuk bibit yang berasal dari
bubil/katak, dibuat guludan setelah tanah diolah intensif dengan jarak antar
gulud 90 cm dan bubil ditanam dalam guludan dengan jarak 90 cm. Dalam
prakteknya tanaman porang ditanam di bawah naungan tegakan tanaman lain,
misalnya di bawah tegakan pohon jati, sengon, atau mahoni.
2. Bibit
Bibit yang biasa digunakan berupa ubi batang atau potongan ubi yang
mempunyai titik tumbuh (apical meristem) merupakan cara yang paling lazim
dilakukan. Umbi/potongan ubi yang digunakan sebagai bibit hendaknya cukup
besar, karena apabila terlalu kecil, untuk tumbuh dan menghasilkan ubi yang
besar memerlukan 2-3 musim tanam. Menurut Mondal dan Sen (2004), persentase
perkecambahan bibit yang tinggi (98%) apabila bibit diperoleh dari separo
potongan ubi bagian atas, sementara dari separo bagian bawah ubi, akan
menghasilkan perkecambahan yang lebih rendah. Bagian dasar dari ubi umumnya
kurang bagus digunakan sebagai bibit. Ukuran ubi atau potongan ubi yang
dijadikan bibit berpengaruh terhadap produktivitas tanaman. Makin besar
potongan ubi yang digunakan sebagai bibit, akan meningkatkan tinggi tanaman
(batang semu) dan hasil ubi. Meningkatnya ukuran bibit dari sekitar 250 g
menjadi 1 kg akan meningkatkan rata-rata berat ubi dari 0,75 kg/ tanaman
menjadi 1,74 kg/tanaman, dan hasil ubi dari 21,6 menjadi 77,34 t/ha (Das et al, 1995).
3. Penanaman
Jarak tanam yang digunakan ditentukan
umur panen yang dikehendaki. Apabila akan dipanen pada umur 8 bulan pertama,
maka jarak tanam 30 cm x 30 cm sudah cukup. Tapi apabila dipanen pada periode
panen tahun ke dua digunakan jarak tanam 45 cm x 45 cm. Bila dipanen pada
periode panen tahun ke tiga maka perlu jarak tanam yang lebih lebar 60 cm x 60
cm. Kedalaman tanam berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil ubi. Secara umum
makin dalam bibit ditanam akan menghambat pertumbuhan anakan ubi. Pada
kedalaman 30 cm, sebagian besar dari ubi akan memanjang menjadi pyriform. Pada
umumnya menurut Sugiyama dan Santosa (2008), kedalaman tanam sekitar 10 cm dari
permukaan tanah adalah cukup ideal untuk penanaman porang. Namun menurut
Sumarwoto (2012 b), kedalaman tanam sangat ditentukan oleh macam dan ukuran
bibit yang digunakan. Apabila bahan yang ditanam berupa umbi katak (bulbil),
maka kedalaman tanam cukup sekitar 5 cm. Apabila menggunakan bibit berupa ubi
kecil (200 g) maka ditanam pada kedalaman 10 cm, dan bibit berupa ubi yang
lebih besar, ditanam pada kedalaman lebih kurang 15 cm.
4. Pemupukan
Tanaman porang perlu dipupuk dengan
pupuk kandang (5 t/ha) untuk mendapatkan hasil yang optimal. Apabila
menggunakan pupuk anorganik, digunakan dosis N: P2 O5 : K2 O sebesar 40:40:80
kg/ha atau 40:60:45 kg/ha, yang diberikan pada 45 hari setelah tanam. Satu bulan
berikutnya tanaman dipupuk lagi sebagai top dressing dengan 40 kg N, 50 kg P2
O5 , 50kg K2 O/ha, bersamaan dengan pengendalian gulma. Hasil ubi sebanyak 39,6
dan 98,9 t/ha dapat diperoleh dari aplikasi 100-200 kg N dan 100-150 kg K2
0/ha. Pemberian pupuk kandang sebanyak 30 t/ha dapat meningkatkan berat ubi
segar sebanyak 15%, sementara penggunaan pupuk N sebanyak 150 kg/ha
meningkatkan hasil ubi 16,5%.
5. Penyiangan
Penyiangan gulma terutama dilakukan pada
awal pertumbuhan tanaman sebelum kanopi menutup, umumnya dilakukan secara
manual pada umur 30, 60, dan 90 hari setelah tanam. Sambil menggemburkan tanah
di sekitar tanaman. Selain secara manual, pada usahatani skala luas penyiangan
dapat dilakukan dengan penyemprotan herbisida. Penyiangan dilakukan dua kali selama
pertumbuhan tanaman yaitu pada pada umur dua dan empat bulan setelah tanam.
6. Pengairan/Penyiraman
Tanaman porang umumnya diusahakan di
lahan kering. Namun untuk dapat menghasilkan ubi yang optimum diperlukan tanah
dengan kelembaban yang cukup, terutama pada awal pertumbuhan tanaman. Konservasi
kelembaban dengan cara pemberian mulsa, mendorong perkecambahan bibit ubi,
pembentukan kanopi lebih besar, tinggi tanaman, dan hasil ubi yang lebih
tinggi. Menurut Jata et al. (2009),
memberikankan mulsa segera setelah tanam merupakan langkah penting dalam
budidaya porang. Hasil ubi porang pada kondisi diberi pengairan irigasi
permukaan mencapai 40 t/ha, sementara pada kondisi tadah hujan hanya 25 t/ha. Pengairan
secara sering dan teratur akan menghasilkan daun yang besar dan masa hidup yang
lebih panjang dibanding pada kondisi pengairan yang terbatas.
7. Hama
dan Penyakit Tanaman Porang
Hama yang dilaporkan merusak porang
antara lain: Galerucida bicolor (makan daun), Araecerus fasciculatus (merusak
ubi), dan beberapa serangga pengisap, dan ulat perusak daun.
Penyakit yang disebabkan oleh jamur
antara lain: penyakit busuk kaki (foot rot) oleh jamur Rhizoctonia solani,
penyakit hawar daun (leaf blight) oleh Phytophthora colocasiae, busuk
batang/ubi oleh Phytium helicoides, Slerotium rolfsii. Penyakit bakteria pada porang
adalah busuk basah oleh Erwinia carotovora, penyakit Konjac mosaic virus dan
Dasheen mosaic virus (DMV).
C. Panen
dan Pascapanen Tanaman Porang
Tanda-tanda tanaman porang siap dipanen
adalah bila daunnya sudah mengering dan jatuh ke tanah. Di Indonesia, panen
sebaiknya dilakukan pada musim kemarau sekitar bulan Mei sampai Juni. Apabila
panen dilakukan pada periode panen tahun ke dua, dari setiap pohon dapat
dihasilkan ubi seberat 0,5-3,0 kg, sehingga dengan populasi sekitar 60.000 tanaman/ha,
dapat dihasilkan 40 ton umbi segar. Panen perlu dilakukan secara hati-hati
untuk menghindari luka pada ubi, dilakukan dengan menggali tanah di sekitar
tanaman baru mengambil ubinya. Setelah dipanen, ubi porang perlu dibersihkan
dan disimpan di dalam ruangan berventilasi baik pada suhu dingin (sekitar 10 o
C). Pada kondisi ini ubi dapat disimpan hingga berbulan-bulan. Namun apabila
disimpan pada suhu sekitar 27 o C pada bulan pertama penyimpanan akan
kehilangan berat sekitar 25%. Apabila ubi akan diproses menjadi produk,
sebaiknya disimpan dalam bentuk chip (irisan tipis) atau tepung yangkering.
Sifat tanaman porang yang toleran
terhadap naungan, memungkinkan tanaman ini dibudidayakan di lahan hutan
industri di bawah tegakan pohon jati, sonokeling, mahoni ataupun sengon. Pengembangan
budidaya dan pemanfaatan porang ke depan sangat prospektif karena lahan
tersedia, terutama di kawasan hutan sehingga tidak perlu bersaing dengan lahan
komoditas tanaman pangan lainnya. Pasar tepung porang juga tersedia, terutama
untuk tujuan ekspor di samping pasar dalam negeri seiring dengan meningkatnya
kesadaran dan kebutuhan masyarakat terhadap pangan fungsional. (Penulis: Umi
Barokah,S.P. Penyuluh Pertanian BPP Kecamatan Pejagoan, Kabupaten Kebumen).
Komentar
Posting Komentar